Jumat, 05 November 2010

KENDALA MEMBANGUN PETERNAKAN SAPI POTONG

Di dalam Program Kecukupan Daging 2010 yang dirancang Direktorat Jenderal Peternakan, peran produksi daging sapi dalam negeri harus memberikan kontribusi sebesar 90-95 persen. Saat ini diperkirakan kemampuan produksi daging dalam negeri baru mampu memberikan kontribusi sekitar 70-75 persen terhadap kebutuhan nasional. Dalam perjalanannya, nasib program ini sepertinya akan sama dengan Program Swasembada Daging on Trend (2000-2005)
Tanda-tanda ke arah hal tersebut mulai tampak manakala program ini disosialisasikan. Secara hitung-hitungan di atas kertas, program ini sangat mungkin dilaksanakan Misalnya, untuk memenuhi target tersebut, skenario pemenuhan jumlah kebutuhan daging dengan berbagai asumsinya tampak pada Tabel 1. Menurut Ditjen Peternakan, jika dihitung secara keseluruhan, kebutuhan investasi tidak kurang dari Rp 20 triliun, dengan bagi peran, yaitu pemerintah 5-10 persen, masyarakat 60-70 persen, dan perusahaan swasta sisanya, sekitar Rp 5-7 triliun.
Melihat angka- angka tersebut, apakah Departemen Keuangan, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya telah siap untuk mendukung? Dan dengan waktu yang hanya tinggal 3,5 tahun, rasanya program tersebut hampir bisa dikatakan tidak akan mungkin tercapai. Pasalnya, berbagai kendala lapangan yang justru diciptakan pemerintah sendiri menyebabkan program ini akan sulit direalisasi, seperti dijelaskan sebagai berikut: Impor bibit Kebutuhan akan bibit sebanyak 1 juta ekor yang harus disediakan dari impor hampir mustahil dapat dilaksanakan pada tahun ini dan tahun depan. Sebab, jumlah tersebut sangat sulit didapatkan di Australia. Sebagaimana diketahui bahwa Australia setiap tahun hanya mampu mengekspor ternaknya sekitar 1 juta ekor sapi bakalan. Jumlah tersebut tidak hanya di pasarkan ke Indonesia, tetapi juga ke seluruh dunia. Kalaupun ada, importir mana yang telah siap dan mau untuk melaksanakannya dengan dana yang cukup? Dan, dengan sistem seperti apa yang harus mereka lakukan? Seperti diketahui pula bahwa bisnis pembibitan memerlukan suku bunga di bawah 5 persen. Selama ini kontribusi peternakan rakyat mampu menopang kegiatan tersebut tanpa sentuhan modal pemerintah dan perhitungan ekonomi (traditional farming system). Jika dilakukan secara komersial, tentunya menuntut perhitungan ekonomi dan insentif bagi para pengusaha swasta. Selama ini program introduksi permodalan bagi usaha pembibitan melalui perbankan boleh jadi belum mampu memberikan suku bunga maksimal 5 persen. Kebijakan zona Indonesia sampai hari ini masih mengacu kepada kebijakan free region, bukan free zone. Artinya, Indonesia hanya membolehkan masuknya hewan atau bahan asal hewan dari negara-negara yang bebas terhadap penyakit yang ada pada daftar A, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), penyakit sapi gila (BSE), dan sebagainya.
Kebijakan ini sebenarnya masih sangat relevan dalam upaya melindungi peternak di dalam negeri terhadap kemungkinan tertularnya berbagai penyakit tersebut dan telah memberikan iklim kondusif. Berbagai pertimbangan "maksimum sekuriti" atau zero risk terhadap kemungkinan tertularnya berbagai penyakit sebagai akibat dianutnya kebijakan free zone telah banyak dilontarkan oleh berbagai kalangan, baik para ahli, organisasi profesi, maupun kelompok masyarakat. Sebab, dampak yang terjadi akan membuka peluang tertularnya penyakit mulut dan kuku maupun penyakit zoonosis lainnya
Dampak negatif tersebut tidak hanya terjadi pada subsektor peternakan, tetapi juga akan meluas ke sektor pertanian, bahkan industri pariwisata, seperti halnya pada kasus ekspor pucuk tebu dari beberapa negara di Asia ke Jepang beberapa waktu lalu. Menurut data USDA, dengan terjadinya outbreak BSE di USA saja, ekspor daging di negeri ini anjlok sampai 83 persen pada tahun 2004 sehingga mampu menggoncangkan bursa efek di New York. Adapun di Brasil (2004), outbreak PMK menyebabkan turunnya ekspor daging sampai 23 persen dengan kerugian sekitar 2,6 miliar dollar AS per tahun.
Di Inggris pada tahun 2001, kerugian yang diderita sekitar 3,1 miliar poundsterling atau sekitar Rp 52,7 triliun, dengan sekitar 4,2 juta ekor ternak (sapi, kambing, domba, babi dan rusa, serta ternak lainnya) yang dimusnahkan. Sebenarnya, menurut OIE, beberapa negara yang bebas penyakit dan masih berpeluang untuk berdagang dengan Indonesia tampak pada tabel di bawah ini. Adapun negara yang bebas PMK dengan vaksinasi adalah China Taipei, Paraguay, and Uruguay. Adapun negara-negara yang bebas berdasarkan free zone adalah Argentina (Patagonia). Akan tetapi, pada tahun 2006 terjadi outbreak di Botswana, Colombia (Northwest region of Choco), Malaysia (Sabah and Sarawak), Namibia, Peru, Filipina (Mindanao, Visayas, Palawan and Masbate), dan Afrika Selatan. Berdasarkan data tersebut, jika saja pemerintah tetap membuka kebijakan free region, sepertinya program pengembangan ternak sapi potong akan dibuat tidak kondusif oleh pemerintah sendiri.
Meningkatkan produksi pada dasarnya dapat dilakukan dengan introduksi teknologi, khususnya bagi peningkatan produksi daging sapi yang dilakukan oleh negara-negara pengimpor sapi dengan menggunakan growth promotor hormone. Hormon pemacu pertumbuhan ini telah digunakan di negera lain sehingga kenaikan berat badan sapi mampu mencapai 1,5 kg/ekor/hari. Adapun para peternak di negeri ini baru mampu mencapai 1 kg/ekor/hari karena mereka dilarang menggunakannya oleh pemerintah.
Di satu sisi diharuskan meningkatkan produksi, di sisi lain pemerintah melarangnya. Adapun daging yang diimpor merupakan hasil penggunaan hormon diperbolehkan masuk. Kebijakan seperti ini yang cukup membingungkan. Kebijakan pemda Kendala lapangan lainnya menunjukkan pula beberapa kasus yang menjadi faktor signifikan dalam pengembangan peternakan sapi potong di tingkat kabupaten/kota. Terhapusnya Dinas Peternakan menjadi dinas di bawah dinas teknis lain, misalnya Dinas Pertanian atau lainnya, telah melemahkan semangat juang untuk meningkatkan kinerja SDM peternakan dalam membangun peternakan sapi potong.
Belum lagi lemahnya kesadaran pimpinan daerah (bupati) terhadap pembangunan peternakan. Banyak kebijakan nasional yang diterapkan secara kaku tanpa melihat kondisi daerahnya. Misalnya, kasus pengembangan peternakan sapi potong/perah di Jabar. Ditutupnya investasi peternakan yang tengah berjalan telah menimbulkan keengganan pengusaha melakukan investasi di daerah itu-bukan diberikan kemudahan untuk melakukan investasi guna meningkatkan daya beli masyarakat dan produktivitas usaha. Analisis regoverning market dapat digunakan sebagai jalan keluar terbaik dalam rangka menyusun program kebijakan publik yang andal, yaitu suatu metode yang dapat dianut di mana kebijakan publik harus dibuat berdasarkan alur bottom up planning, dengan melibatkan para pelaku bisnis daging. Maka, tidak lagi ada kebijakan yang hanya menjadi retorika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar